Kebutuhan Pendidikan
Dari Sudut Pandang
Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus
Sekitar 70% Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) dengan disabilitas di Indonesia belum terjangkau
layanan pemerintah. (Solo Pos, 26/09/2012)
Betul adanya berita
tersebut dan nyata dirasakan oleh para orang tua ABK, sulitnya mencari sekolah
yang tepat untuk anak mereka.
Sekolah inklusi adalah sekolah formal yang memberikan ruang
atau akses pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Seharusnya bisa menjadi harapan
yang baik untuk kebutuhan pendidikan bagi ABK.
Kenyataan di lapangan, tidak mudah untuk mendapatkan
sekolah ABK yang terjangkau, baik dalam arti biaya dan lokasinya. Yang
tinggal dekat Jakarta ibukota saja kesulitan untuk mendapatkan sekolah
ABK yang terjangkau apalagi yang di daerah-daerah.
Sebagian besar masih banyak kendala orang tua yang memiliki
ABK untuk mendapatkan sekolah. Meskipun pemerintah sudah mengulurkan bantuan
dana untuk sekolah-sekolah reguler yang ditunjuk menjadi sekolah inklusi, tapi
apakah sudah tepat sasaran dan efektif ?
Karena kenyataannya ada diantaranya sekolah-sekolah tersebut
yang terang-terangan menolak, ataupun menolak secara halus siswa ABK dengan
berbagai alasan.
Satu kejadian seorang ABK yang sekolah di sekolah inklusi,
seorang guru mendudukkannya di depan papan tulis menghadap kearah siswa yang
lain yang kemudian jadi tontonan dan tertawaan, alasan gurunya supaya fokus.
Ini menunjukkan ketidaksiapan guru dalam mengajar ABK. Padahal dana bantuan
dari pemerintah untuk sekolah inklusi, diantaranya untuk memberikan pendidikan
dan pelatihan bagi guru dalam menangani dan mengajar ABK
secara memadai.
Bahkan ada juga sekolah inklusi yang tidak memiliki peserta
didik ABK, entah karena kurangnya sosialisasi atau alasan tehnis lainnya, yang
jelas sekolah tersebut memang belum siap menerima ABK.
Yang menjadi pertanyaan di sini tidakkah perlu ditinjau
ulang sekolah-sekolah inklusi tersebut ? agar dana bantuan yang masih kurang
untuk pelayanan pendidikan bagi siswa ABK tidak sia-sia. Seperti misalnya ;
- Keberadaan peserta didik ABK yang ditampung harus memenuhi standar minimal jumlahnya, agar tidak seenaknya menolak siswa ABK bahkan sampai tidak memiliki siswa ABK.
- Tenaga pengajar yang memadai dan kompeten dalam mengajar siswa ABK.
- Ratio jumlah siswa di kelas dengan adanya siswa ABK, seharusnya juga diberikan standard idealnya jumlah maksimal siswa di kelas.
Banyaknya kendala seperti di atas pada akhirnya mengharuskan orangtua ABK mau tidak mau harus pandai-pandai mencari alternatife lain. Bagi orang tua yang mampu, tentunya bisa mencari sekolah swasta khusus untuk ABK yang biayanya bisa berjuta-juta. Bagi yang tidak mampu terpaksa tidak menyekolahkan anaknya atau berusaha untuk mengikuti terapi dan pelatihan sendiri.
Beberapa rumah belajar untuk ABK atau rumah terapi yang
didirikan perorangan menjadi salah satu alternatife, tapi lagi-lagi
keberadaannya yang tidak banyak juga menjadi kendala karena terkadang harus
masuk waiting list.
Kami para orang tua
ABK sangat berharap bahwa sarana pendidikan ataupun pelatihan dan terapi bagi
ABK bisa lebih diperbanyak dan diperluas jangkauannya.
Dan akan sangat
membantu juga jika pemerintah bisa memprogramkan secara rutin semacam pelatihan
ataupun seminar untuk orangtua ABK dalam penanganan yang tepat untuk ABK. Baik
dari sisi pendidikan, ketrampilan maupun terapi, di berbagai wilayah
dengan materi yang berotasi.
Misalnya ada 5 materi
diadakan di 5 wilayah yang berbeda akan tetapi masih dalam wilayah yang saling
berdekatan. Dan terus bergantian materinya sehingga memungkinkan bagi orang tua
ABK jika kurang memahami atau belum mengikuti salah satu materi bisa mengikuti
di wilayah lain sesuai materi yang dibutuhkan. Tentunya dengan biaya yang
terjangkau atau jika memungkinkan gratis.
Seminar atau
pelatihan tersebut bisa mempersiapkan orangtua menjadi guru bagi ABK nya.
Mengajar ABK harus dengan hati yang lebih lapang dibanding siswa normal. Dan
orang tua adalah guru yang terdekat yang bisa mengajar ABK nya dengan hati.
Jika dibekali dengan pendidikan yang memadai diharapkan bisa mempersiapkan ABK
bukan hanya mandiri tapi jika memungkinkan juga bisa mempersiapkan ABK memasuki
sekolah umum.
Direktorat Pembinaan
Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar (PPK-LK Dikdas)
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), akan mengajukan tambahan
dana sebesar Rp500 miliar untuk pembentukan gerakan pendukung pendidikan
inklusi di semua daerah di Indonesia. Gerakan itu tidak diprioritaskan pada
pembangunan infrastruktur fisik, melainkan pada pengembangan kepedulian semua
stakeholders. Dengan itu pada 2015 ditargetkan minimal 50% ABK sudah dapat
terakomodir. (Solo Pos - 26/09/2012)
Kalau prosentase dana yang disalurkan untuk sekolah
anak-anak normal sudah bisa tercapai sedemikian bagusnya, harapan kami para
orang tua ABK tentunya juga bisa lebih baik lagi bagi pendidikan untuk ABK.
Tapi bagaimanapun berita tersebut membawa harapan bahwa
kelak akan lebih mudah bagi ABK untuk mendapatkan pendidikan yang terjangkau
sampai ke pelosok.
Bukan hanya melalui sekolah tapi juga melalui
lembaga-lembaga yang bergerak dalam pendidikan ABK, bisa masuk ke
daerah-daerah. Suport dari pemerintah dalam hal ini PPK-LK Dikdas akan sangat
berarti.
Juga buat rumah-rumah belajar atau terapi untuk ABK
yang didirikan perorangan, dengan harapan bisa membantu ABK yang orang tuanya
terkendala biaya.
Semoga pemerintah bisa tepat sasaran untuk menyalurkan
bantuannya sehingga memungkinkan sarana pendidikan bagi ABK berkembang atau
terus bertumbuh menjadi perpanjangan sekolah-sekolah untuk ABK di
pelosok-pelosok.
Anak adalah masa depan bangsa dan diantara anak-anak itu ada
ABK yang bukan tidak mungkin bisa menjadi anak-anak pengharum nama bangsa atau
bahkan pemimpin bangsa. Dan merekapun mempunyai hak yang sama dalam memperoleh
pendidikan seperti halnya anak-anak normal lainnya.
Beri mereka kesempatan untuk berkembang dengan memfasilitasi
kebutuhan pendidikan mereka lebih baik dari yang ada sekarang.
Seperti yang dikemukakan oleh Asep Suriaman Cahyo Saputro dalam tulisannya yang berjudul Potensi Anak Autis ini :
Banyak individu yang sukses di Indonesia bahkan di dunia
berasal dari anak-anak berkebutuhan khusus. Konon tokoh-tokoh terkenal seperti
Albert Einstein dan Leonardo da Vinci adalah penyandang autis. Temple Grandin
yang bergelar doctor, Nita Jackson adalah pemain komedi terkenal, Bill Gates
orang terkaya di dunia, Oscar Dompas penyandang autis asal Indonesia yang
sekarang menjadi pengusaha sekaligus penulis buku, Jasmine Lee O’Neil dan Donna
Williams juga seorang penulis autis, dan banyak lagi lainnya jika kita mau
membuka mata kita untuk melihat segala potensi yang dimiliki anak penyandang
autis dan mau menggali serta mengembangkannya.