Sebagai
orang tua pastinya ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, dan
seringkali apapun dilakukan dan diperjuangkan untuk sang anak. Naluri orang tua
ingin anak-anaknya menjadi lebih baik dari pada mereka, hal yang manusiawi.
Saat anak
baru TK atau SD mungkin tidak menjadi
masalah 100% orang tua yang menentukan sekolah mana yang menurut orang tua
menjadi pilihan terbaik untuk anak mereka.
Tapi yang menjadi tidak manusiawi adalah, ketika keinginan itu
tidak seiring dengan keinginan anak. Yang mungkin awalnya mengikuti kemana arah
yang ditunjukkan orang tua, tapi berbenturan di tengah jalan. Saat anak mulai
merasakan tidak sesuai hatinya arah yang dia jalani, terlambat sudah … Akhirnya
dijalani dengan setengah hati bahkan tidak jarang disengaja untuk menunjukkan
protes dengan menurunkan semangat dan prestasi yang mungkin pada awalnya sudah
dibangun, baik oleh orang tua maupun oleh anak itu sendiri. Sayang bukan ?
Hal ini yang aku alami saat anak
sulungku masuk SMP, tidak menyangka akan mengalami perubahan watak dan karakter
yang rasanya seperti mendadak (mungkin karena tidak siap anak mulai berkembang
bukan lagi anak-anak tapi mulai menuju remaja yang pastinya berbeda karakter)
Kaget saat
melihat anak sulungku mulai berubah dengan tingkah lakunya. Yang awal masuk SMP
RSBI terlihat semangat dan rapi seperti kebanyakan siswa SMP unggulan tersebut
mayoritas terlihat rapi dan santun. Saat memasuki kelas 9, rambut dibuat
acak-acakan, baju dikeluarkan, raut muka sengaja dibikin sangar …
Waduuuh, mulai deh naluri ibu untuk introgasi muncul, dan kebiasaan kaum ibu kalau anaknya berubah kearah yang tidak baik pasti pikirannya negative ke anak dan hilang kepercayaan bawaannya curiga terus … dampaknya anak semakin mencoba menunjukkan eksistensinya bahwa mereka memang mau berubah seperti yang mereka mau … terserah mau dibilang jelek, nggak baik, nggak bagus, juga nggak peduli.
Waduuuh, mulai deh naluri ibu untuk introgasi muncul, dan kebiasaan kaum ibu kalau anaknya berubah kearah yang tidak baik pasti pikirannya negative ke anak dan hilang kepercayaan bawaannya curiga terus … dampaknya anak semakin mencoba menunjukkan eksistensinya bahwa mereka memang mau berubah seperti yang mereka mau … terserah mau dibilang jelek, nggak baik, nggak bagus, juga nggak peduli.
“Masak anak SMP unggulan kaya gitu
penampilannya” cetusku jengkel saat anak sulungku berpakaian sembarangan saat
mau berangkat sekolah.
“Lo kan bukan Adit yang mau sekolah
di situ.” Sahutnya membuatku tertegun dan
merenung. Mencoba kilas balik
saat menentukan sekolah yang dituju … huuuufff benar, aku dan papanya
yang mengarahkannya ke sekolah unggulan, berdasarkan kemampuannya yang kami
pikir itu yang terbaik. Dan karena sang anak saat itu iya-iya saja, ya sebagai
orang tua menganggap anaknyapun sejalan dan menginginkan di sekolah pilihan
mama papanya tanpa menanyakan kemungkinan sang anakpun punya pilihan sendiri.
Aku coba duduk bersama dan tanya
baik-baik apa keinginannya, tidak ada jawaban selain menunjukkan ekspresi
kesalnya. Aku coba coolingdown dulu membiarkannya bersikap seperti yang dia
mau, khawatir sikap kerasku justru akan membuatnya semakin memberontak.
“Mas ni udah kelas 9 mau lulus,
pengen nerusin kemana?” celetukku saat melihatnya santai.
“Kata papa suruh ke SMK di Solo.”
Sahutnya membuatku kaget karena sikap dan ekspresinya tidak menunjukkan
penolakan. Tapi aku sudah trauma dengan yang lalu, tidak menunjukkan penolakan
bukan berarti mengiyakan. Aku tidak mau lagi terulang hal yang sama mengenai
menentukan sekolah yang seakan ingin ia pertanyakan “Sekolah ini untuk masa
depannya atau untuk masa depan mama papa?”
“Jangan kata
papa atau mama tapi keinginan Adit sendiri kemana?”
“SMK pengen
otomotif.”
“Terus pilihan Adit SMK mana?” tanyaku sambil mengamati raut
mukanya mencari kesungguhan.
“Belum tau tapi kata papa di Solo
bagus”
“Oke, gimana kalau sekarang kata mama
di sinipun banyak pilihan yang bagus?”
“Dimana Ma?”
“Cari info di internet, tanya
temen-temenmu kalau dah ketemu bilang ke mama ya?” jawabku sambil menghembuskan
napas lega melihat reaksinya yang kooperatif dan antusias saat ngobrol.
Ternyata gak sesulit yang aku bayangkan, asal tau waktu yang tepat buat diajak
ngobrol aja dan jadi nggak merasa di
interogasi yang membuatnya harus mengikuti kemauan orang tua.
“Kalau menurut pandangan mama SMK
mana?” tanyanya
“SMKN 1 menurut info itu bagus, coba
aja Adit cari infonya.”
Jadi … yang
terbaik menurut orang tua belum tentu baik juga untuk anaknya, saat mereka
menjelang remaja, kita sebagai orang tua terutama ibu harus mulai merubah cara
pandang kita dari menggangap mereka sebagai anak-anak menjadi pribadi yang
sudah meningkat remaja dengan cara pandang dan berpikir yang jauh lebih
berkarakter untuk mengekspresikan arah tujuan mereka. Yang penting kita
mendampingi dan menjadi teman untuk bisa memberikan masukan yang baik. Tapi
bukan menentukan arah mereka.
Biarkan mereka berkembang menjadi
pribadi yang baik dengan support dan motivasi bahwa baik dan buruknya pilihan
mereka akan berdampak pada pencapaian mereka, sebagai orang tua rasanya cukup
kita mengarahkan mereka menjadi pribadi yang baik dan membantu memberikan
pilihan-pilihan sesuai keinginan mereka, karena apa yang dijalani sesuai dengan
keinginan pasti akan lebih baik hasilnya.
Pasti senang
rasanya sebagai ibu melihat kepergian anaknya menuntut ilmu dengan muka ceria,
ringan melangkah yakin dengan pilihannya menuju pintu sukses.
alhamdulillah, keren banget mbak!
BalasHapussalam kenal !
Terima kasih kunjungannya, salam kenal juga
BalasHapusSalam kenal mbak, pengalaman nih buat aku berarti usia SMP itu memang agak "memberontak" ya? soalnya aku sempet kaget juga sama sikap si kakak ^_^.
BalasHapusSeneng banget baca artikelnya, semoga kemampuan menulisku bisa sebagus ini. Selama ini ngeblog cuman modal nekat...
Terima kasih, salam kenal juga mbak emeylia, ini juga sedang berproses membuat tulisan :)
BalasHapus