Laman

Minggu, 10 Februari 2013

Pilihan Sekolah Untuk Masa Depan Anak Atau Orang Tua ?

         Sebagai orang tua pastinya ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, dan seringkali apapun dilakukan dan diperjuangkan untuk sang anak. Naluri orang tua ingin anak-anaknya menjadi lebih baik dari pada mereka, hal yang manusiawi.

        Saat anak baru  TK atau SD mungkin tidak menjadi masalah 100% orang tua yang menentukan sekolah mana yang menurut orang tua menjadi pilihan terbaik untuk anak mereka.
 Tapi yang menjadi tidak manusiawi adalah, ketika keinginan itu tidak seiring dengan keinginan anak. Yang mungkin awalnya mengikuti kemana arah yang ditunjukkan orang tua, tapi berbenturan di tengah jalan. Saat anak mulai merasakan tidak sesuai hatinya arah yang dia jalani, terlambat sudah … Akhirnya dijalani dengan setengah hati bahkan tidak jarang disengaja untuk menunjukkan protes dengan menurunkan semangat dan prestasi yang mungkin pada awalnya sudah dibangun, baik oleh orang tua maupun oleh anak itu sendiri. Sayang bukan ?
  Hal ini yang aku alami saat anak sulungku masuk SMP, tidak menyangka akan mengalami perubahan watak dan karakter yang rasanya seperti mendadak (mungkin karena tidak siap anak mulai berkembang bukan lagi anak-anak tapi mulai menuju remaja yang pastinya berbeda karakter)
        Kaget saat melihat anak sulungku mulai berubah dengan tingkah lakunya. Yang awal masuk SMP RSBI terlihat semangat dan rapi seperti kebanyakan siswa SMP unggulan tersebut mayoritas terlihat rapi dan santun. Saat memasuki kelas 9, rambut dibuat acak-acakan, baju dikeluarkan, raut muka sengaja dibikin sangar …
        Waduuuh, mulai deh naluri ibu untuk introgasi muncul, dan kebiasaan kaum ibu kalau anaknya berubah kearah yang tidak baik pasti pikirannya negative ke anak dan hilang kepercayaan bawaannya curiga terus … dampaknya anak semakin mencoba menunjukkan eksistensinya bahwa mereka memang mau berubah seperti yang mereka mau … terserah mau dibilang jelek,  nggak baik,  nggak bagus, juga nggak peduli.
 “Masak anak SMP unggulan kaya gitu penampilannya” cetusku jengkel saat anak sulungku berpakaian sembarangan saat mau berangkat sekolah.
 “Lo kan bukan Adit yang mau sekolah di situ.” Sahutnya membuatku tertegun dan  merenung. Mencoba kilas balik  saat menentukan sekolah yang dituju … huuuufff benar, aku dan papanya yang mengarahkannya ke sekolah unggulan, berdasarkan kemampuannya yang kami pikir itu yang terbaik. Dan karena sang anak saat itu iya-iya saja, ya sebagai orang tua menganggap anaknyapun sejalan dan menginginkan di sekolah pilihan mama papanya tanpa menanyakan kemungkinan sang anakpun punya pilihan sendiri.
  Aku coba duduk bersama dan tanya baik-baik apa keinginannya, tidak ada jawaban selain menunjukkan ekspresi kesalnya. Aku coba coolingdown dulu membiarkannya bersikap seperti yang dia mau, khawatir sikap kerasku justru akan membuatnya semakin memberontak.
 “Mas ni udah kelas 9 mau lulus, pengen nerusin kemana?” celetukku saat melihatnya santai.
 “Kata papa suruh ke SMK di Solo.” Sahutnya membuatku kaget karena sikap dan ekspresinya tidak menunjukkan penolakan. Tapi aku sudah trauma dengan yang lalu, tidak menunjukkan penolakan bukan berarti mengiyakan. Aku tidak mau lagi terulang hal yang sama mengenai menentukan sekolah yang seakan ingin ia pertanyakan “Sekolah ini untuk masa depannya atau untuk masa depan mama papa?”
       “Jangan kata papa atau mama tapi keinginan Adit sendiri kemana?”
       “SMK pengen otomotif.”
“Terus pilihan Adit  SMK mana?” tanyaku sambil mengamati raut mukanya mencari kesungguhan.
“Belum tau tapi kata papa di Solo bagus”
“Oke, gimana kalau sekarang kata mama di sinipun banyak pilihan yang bagus?”
“Dimana Ma?”
“Cari info di internet, tanya temen-temenmu kalau dah ketemu bilang ke mama ya?” jawabku sambil menghembuskan napas lega melihat reaksinya yang kooperatif dan antusias saat ngobrol. Ternyata gak sesulit yang aku bayangkan, asal tau waktu yang tepat buat diajak ngobrol aja dan jadi nggak merasa di interogasi yang membuatnya harus mengikuti kemauan orang tua.
“Kalau menurut pandangan mama SMK mana?” tanyanya
“SMKN 1 menurut info itu bagus, coba aja Adit cari infonya.” 
     Jadi … yang terbaik menurut orang tua belum tentu baik juga untuk anaknya, saat mereka menjelang remaja, kita sebagai orang tua terutama ibu harus mulai merubah cara pandang kita dari menggangap mereka sebagai anak-anak menjadi pribadi yang sudah meningkat remaja dengan cara pandang dan berpikir yang jauh lebih berkarakter untuk mengekspresikan arah tujuan mereka. Yang penting kita mendampingi dan menjadi teman untuk bisa memberikan masukan yang baik. Tapi bukan menentukan arah mereka.
Biarkan mereka berkembang menjadi pribadi yang baik dengan support dan motivasi bahwa baik dan buruknya pilihan mereka akan berdampak pada pencapaian mereka, sebagai orang tua rasanya cukup kita mengarahkan mereka menjadi pribadi yang baik dan membantu memberikan pilihan-pilihan sesuai keinginan mereka, karena apa yang dijalani sesuai dengan keinginan pasti akan lebih baik hasilnya.
      Pasti senang rasanya sebagai ibu melihat kepergian anaknya menuntut ilmu dengan muka ceria, ringan melangkah yakin dengan pilihannya menuju pintu sukses.

4 komentar:

  1. alhamdulillah, keren banget mbak!
    salam kenal !

    BalasHapus
  2. Terima kasih kunjungannya, salam kenal juga

    BalasHapus
  3. Salam kenal mbak, pengalaman nih buat aku berarti usia SMP itu memang agak "memberontak" ya? soalnya aku sempet kaget juga sama sikap si kakak ^_^.
    Seneng banget baca artikelnya, semoga kemampuan menulisku bisa sebagus ini. Selama ini ngeblog cuman modal nekat...

    BalasHapus
  4. Terima kasih, salam kenal juga mbak emeylia, ini juga sedang berproses membuat tulisan :)

    BalasHapus